from BTemplates!

Paraning Dumadi


Marilah kita sama-sama menelisik ‘kawruh murni'-nya leluhur kita tersebut dengan ketulusan demi bisa terwariskan kepada anak keturunan kita sendiri. Telah kita ketahui bersama, bahwa ‘ngelmu-ngelmu' Jawa sangat jarang yang dipaparkan secara tertulis dengan gamblang.Kebanyakan dengan simbul-simbul yang benar-benar rumit untuk dipahami secara awam. Terlebih-lebih tentang ‘ngelmu- ngelmu' yang sangat penting dan mendasar sebagaimana ‘Kawruh Sangkan Paran'.

Kita tidak tahu mengapa hal itu terjadi, bahkan pemahaman yang terwariskan kepada kita telah memposisikan ‘ngelmu-ngelmu' tersebut sebagai ‘sinengker' yang artinya tidak boleh dibicarakan secara umum.Perlu prasyarat-prasyarat tertentu yang harus ‘dilakoni' oleh orang yang berkehendak mempelajari dan memahami. Maka akibatnya bagi awam terposisikan untuk ‘manut miturut' mengikuti para ‘sesepuh' yang diyakini telah mampu menguasai ‘ngelmu-ngelmu rungsit lungid' tersebut. Sinengkernya ngelmu-ngelmu Jawa tersebut menjadikan kebanyakan orang Jawa awam merasa terjauhkan dari ‘Kawruh Ajaran Hidup' warisan leluhurnya sendiri. Kemudian memilih untuk mengikuti ‘Ajaran Hidup' dari luar yang disebarkan dengan intensif dan gampang. Bahkan untuk menjadi ‘tokoh' ajaran hidup yang dari luar itupun tidak banyak prasyarat yang harus dipenuhi. Oleh karena itu menjadi wajar ketika ‘nuansa' Jawa di saat ini terkesan sudah berubah menjadi "Barat' dan ‘Timur Tengah'.

Keinginan Ki Djoko Wiro dalam mewacanakan ‘Paraning Dumadi' membuktikan bahwa sesungguhnya ada keinginan-keinginan di kalangan masyarakat Jawa terpelajar untuk bisa memahami ‘Kawruh Ajaran Hidup' yang asli miliknya sendiri. Beliau yang telah ‘yuswa' dan mengenyam asam garam kehidupan nampaknya ‘kurang sreg' dengan diskripsi ajaran hidup (agama) yang dari luar. Namun menjadi gamang ketika mencoba mengikuti penekunan spiritual Jawa yang ada (Aliran Kepercayaan). Kiranya banyak kadang lajer Jawa yang seperti Ki Djoko Wiro tersebut.Ketika saya kepingin ‘urun rembuk' untuk mengkaji berbagai ngelmu Jawa, maka kendala yang terjadi ada pada bahasa. Pada kenyataannya memang sangat sulit menyam-paikan paparan kawruh kejawen dengan bahasa Indonesia. Padahal bahasa Jawa untuk ngelmu-ngelmu tersebut sudah banyak yang kurang paham lagi. Serat-serat kapujanggan misalnya, bahasanya sudah jarang dipergunakan awam pada masa sekarang ini. Lagian disusun dalam bentuk tembang-tembang. Maka jarang orang paham isinya meskipun ketika berkesenian nembang macapat begitu fasih melakukan.

Namun demikian, kita hendaknya tidak gampang menyerah. Karena kita, wong Jawa, masih memiliki bahasa Jawa Ngoko yang secara alamiah terlestarikan dan masih banyak awam yang memahami. Kebetulan saja bahwa ‘teks' ngelmu-ngelmu Jawa banyak yang dipaparkan dengan bahasa Jawa Ngoko itu. Menanggapi keinginan Ki Doko Wiro dan mungkin para sejawat lain yang senada, maka saya ingin menyampaikan suatu kajian tentang ‘Kawruh Sangkan Paran' semampu saya kepada para sejawat. Sumangga .......

Meski yang tertera di banyak literatur Jawa masih banyak berbau ‘dongeng', namun bisa menuntun saya memahami ‘dasar falsafah' Jawa tentang: teologi, mitologi dan ‘kosmologi' Kejawen. Landasan atau ‘aras dasar' utama spiritualisme Kejawen adalah ‘Panunggalan', atau ‘Manunggal' yang artinya menerangkan bahwa ‘sistim' dari semua ‘yang ada' merupakan suatu ‘kesatuan yang mutlak kosmis-magis tak terpisahkan'.‘Struktur sistim'-nya seperti kesatuan sel yang terdiri ‘inti' dan ‘plasma', disebut dalam istilah Jawa ‘Gusti' dan ‘Kawula'. Kalimatnya : "Manunggaling Kawula Gusti". Untaian kata wewarah Jawa lainnya:
- ‘kembang lan cangkoke',
- ‘sesotya lan embanan',
- ‘sedulur papat kalima pancer' (dalam konteks rohani manusia),
- Hyang Manik lan Hyang Maya; Manikmaya atau ‘Dzat Sejatining Urip' (rohani semesta) yang dalam istilah Jawa diberi sebutan: ‘Pangeran' atau ‘Gusti'.
Kawruh Kêjawèn mengajarkan bahwa tergelarnya jagad raya adalah diciptakan oleh Sang Hyang Wenang (sebutan lainnya: Sang Hyang Wisesa, Sang Hyang Tunggal), nama sebutan untuk Sesembahan Asli Jawa. Penciptaannya dengan meremas (membanting) antiga (benih, wiji, bebakalan) hingga tercipta tiga hal :
a Langit dan bumi (alam semesta).
b Teja dan cahya, teja merupakan cahaya yang tidak bisa
diindera sedangkan cahya merupakan cahaya yang bisa
diindera.
c Manikmaya, yaitu "Dzat Urip" atau "Sejatining Urip"
(Kesejatian Hidup, Suksma, Roh).
Menurut Kawruh Kêjawèn, maka seluruh semesta seisinya adalah ciptaan Sanghyang Wisesa di alam suwung, artinya mencipta di dalam haribaan-Nya sendiri. Di dalam haribaan-Nya sendiri mengandung maksud bahwa Tuhan murbâ wasésâ (melingkupi, memuat, serta menguasai dan mengatur) seluruh semesta dan seluruh isinya.Di dalam kesemestaan tersebut ada materi (bumi dan langit), ada sinar dan medan kosmis (cahya dan teja), dan ada Dzat Urip (Manik-mâyâ, Sêjatining Urip, Kesejatian Hidup) sebagai derivate (emanasi, pancaran, tajali) Dzat Tuhan.
Pandangan Kêjawèn menyatakan bahwa: Dzat Tuhan "tan kênâ kinâyângâpâ", tidak bisa dihampiri oleh akal, rasa, dan daya spiritual (batin) manusia. Yang mampu dihampiri akal, rasa dan daya spiritual (kebatinan) adalah Derivate Awal Dzat Tuhan yang di banyak penekunan kejawen disebut ‘Suksma Kawekas'. Saya sendiri lebih nyaman menggunakan sebutan Dzat Sejatining Urip, yang kemudian disebut: Pangèran, Gusti, atau Ingsun.

Kawruh Sangkan Paran merupakan ‘ngelmu' Jawa yang mengajarkan asal mula keseluruhan yang ada dan kemana tujuan akhirnya. ‘Ada' dalam artian ‘Maha Kesatuan Tunggal Semesta' adalah langgeng abadi. Maka dengan demikian ‘sangkan paran' lebih ditujukan kepada ‘ada' untuk ‘titah urip' dan lebih khusus lagi ‘manusia'. Titah urip merupakan ‘persenyawaan' dari tiga unsur : bumi lan langit, cahya lan teja, serta ‘dzat urip'. Ketiga unsur tersebut bersifat langgeng pada ‘azali'-nya, maka yang tidak langgeng adalah ‘kahanan pernyawaannya'. Sangkan berarti proses mensenyawa, sementara paran merupakan ‘kahanan' setelah mengurai kembalinya pernyawaan tersebut. Berikut saya kutipkan ‘Wedaran Sang Wiku Djawa Boedi Moerni' (1934) :
Note : Sang Wiku adalah ‘sesepuh' Kejawen yang menjadi ‘guru utama' banyak tokoh-tokoh Jawa di jamannya. Tersirat dalam tulisan para siswanya, bahwa saat itu Sang Wiku sudah sepuh sekali, diatas seratus taun. Sang Wiku menyatakan diri sebagai orang pelosok (pegunungan) yang jauh dari kota. ‘Cedhak watu adoh ratu".
Oleh: sekarjagat
read more..

2 komentar:

awie mengatakan...

assallamualaik`um wr wb salam kenal dari mualaf bloger kang,wih da yang kaya gini ko aku ga tau yah kang salam hangat dari cilacap kang

kpbj34 mengatakan...

Tulisan yg bagus.
Memang,banyak orang yg tidak lagi kenal dan tidak mau kenal dg ajaran leluhurnya. Patut disayangkan. Padahal menurutku sangat bagus, lebih menghujam ke isi dari pada kulit. Bisa menyegarkan jiwa dan membuat diri siap menjalani hidup dengan niat yg baik, rasa terima kasih dan keikhlasan menerima apa pun yg terjadi.

Posting Komentar