from BTemplates!

Kepribadian


KEPRIBADIAN Kepribadian bangsa ini sedikit banyak dapat diamati di jalan raya. Lihatlah perilaku kita di jalan raya. Diakui atau tidak, kita kadangkala menyerobot lampu merah di jalan raya. Kita seakan- akan cuek dengan rambu-rambu larangan yang terpasang di sekitar jalan raya. Dalam hal ini, kesadaran tertib berlalu lintas belum begitu merasuk pada masing-masing diri kita. Kita seringkali taat berlalu lintas karena ada polisi, bukan disebabkan kesadaran pribadi. Adanya peraturan dan ramburambu lalu lintas tentu bukan dimaksudkan untuk membatasi dan mengekang kebebasan kita, tetapi untuk menjaga ketertiban dan menjamin keselamatan. Jika tak ada peraturan dan rambu-rambu lalu lintas, maka dipastikan kesemrawutan terjadi dan dimungkinkan rawan kecelakaan. Dari perilaku kita di jalan raya itu terlihat sosok diri kita yang sulit diatur. Kita kadangkala tidak mengenakan helm dan lupa membawa SIM dan STNK. Di sini ada cerita menarik yang sering dijumpai dan mungkin pernah kita alami. Saat di pos penjagaan dan pinggir-pinggir jalan tidak ada polisi dengan serta-merta kita menerjang lampu merah. Tanpa disangka- sangka ternyata di belakang kita ada polisi yang mengejar. Nasib sial pun menimpa kita dan harus merogoh kocek untuk biaya tilang.

Lebih menyedihkan lagi jika ada polisi yang bermain sandiwara di malam hari. Kejadian ini biasanya terjadi sekitar pukul 21.00 ke atas di saat jalan raya relatif lengang dan lampu lalu lintas masih diaktifkan. Tanpa berpikir panjang kita berjalan terus meskipun lampu lalu lintas menyala merah. Seketika itu pula ternyata polisi sudah berdiri beberapa meter saja di hadapan kita dan siap-siap menghadang. Lagi-lagi tilang pun kita terima dengan hati berdegup kencang. Bertambah siallah jika pada waktu itu kita tidak membawa SIM dan STNK. Masing-masing diri kita pasti menyepakati jika jalan raya adalah milik umum. Untuk itu, kita mesti menghormati para pengguna jalan raya lainnya. Kita bukanlah penguasa, tetapi sebagai pengguna yang saling berkepentingan satu sama lain di jalan raya. Coba kita perhatikan setiap kali berhenti di bangjo. Saat lampu hijau menyala kita yang di belakang seringkali membunyikan klakson keraskeras. Kita seakan-akan menganggap pengendara yang berada di depan kita tidak melihat jika lampu sudah menyala hijau. Padahal, siapa pun yang di bangjo tidak buta dengan warna lampu yang menyala.

Jika mau jujur sebenarnya kita hanya ingin cepat-cepat melajukan kendaraan agar tidak terperangkap lampu merah untuk kedua kalinya. Memang kebiasaan kita membunyikan klakson seperti itu tidak masalah.Tapi, kebiasaan kita itu tanpa disadari bisa menyebabkan pengendara di depan kita terkejut dan terganggu. Dari fenomena tersebut kita juga bisa menyimpulkan bahwa kita adalah orang-orang yang tidak bersabar. Betulkah? Perilaku kita di jalan raya sedikit banyak mencerminkan kepribadian kita.Bahkan, kita bisa melakukan tes kepribadian di jalan raya. Apakah kita termasuk orang-orang yang taat aturan? Lihatlah di jalan raya. Apakah kita termasuk orang-orang yang dapat bersabar? Lihatlah di jalan raya. Apakah kita termasuk orang-orang yang lebih mengutamakan kepentingan orang lain? Lihatlah di jalan raya. Apakah kita termasuk orang-orang yang tidak egois? Lihatlah di jalan raya. Di jalan raya kita dapat mengetahui kepribadian kita secara lebih nyata.

Kepribadian kita yang tercermin di jalan raya itu juga berkorelasi dengan perilaku kita dalam kehidupan seharihari, termasuk di lingkungan kerja. Saat diawasi pimpinan, maka kita berlagak rajin dan masuk kantor tepat waktu. Namun, perilaku tertib dan etos kerja itu berubah 180 derajat jika tak ada pimpinan di dekat kita.Lebih prihatin lagi dengan perilaku kita yang bekerja asal selesai tanpa memedulikan kesempurnaan. Ibarat melanggar peraturan dan ramburambu lalu lintas, kita menerjang saja tata aturan kerja profesional dan bertanggung jawab. Sebagaimana kebiasan kita lupa membawa SIM dan STNK, kita boleh jadi kurang menegakkan kedisipilan dalam menunaikan pekerjaan.Sekali lagi perilaku kita di jalan raya sedikit banyak menunjukkan kepribadian kita. Dengan penyeberang jalan pun kita kadangkala tak peduli.Kita tidak mau mengalah dan mempersilakan penyeberang jalan menyeberang dengan menghentikan sejenak kendaraan kita. Padahal, penyeberang jalan itu sudah menyeberang di zebra cross yang seharusnya lebih kita hormati.

Mungkin saja kekurang pedulian kita itu akibat kepenatan dan kesibukan kita. Kita begitu egois seolah-olah hanya kepentingan kita yang lebih penting dan kepentingan orang lain bukan menjadi urusan kita.Selain itu, kita seringkali menjadi pembalap jadi-jadian dan menjadikan jalan raya sebagai sirkuit balap. Kita mengebut seenaknya tanpa peduli terhadap kenyamanan orang lain. Klakson- klakson kendaraan milik kita juga dibuat dengan suara tidak karuan dan memekakkan telinga. Begitu juga dengan suara knalpot yang sengaja dibuat meraung-raung. Dari gejala itu setidaknya menunjukkan kepribadian kita yang kurang peduli terhadap orang lain.Kita bisa dikatakan telah mengenyampingkan kepentingan dan kenyamanan orang lain. Bagaimana pun, perilaku-perilaku kurang terpuji di jalan raya harus diperbaiki. Sudah saatnya kita memiliki sikap menghargai dan menghormati para pengguna jalan yang lain. Jalan raya bukanlah tempat yang bisa kita gunakan seenaknya. Kita juga berkewajiban mematuhi dan menaati peraturan dan rambu-rambu lalu lintas. Kita mesti menegakkan kedisiplinan baik ada polisi atau tidak.

read more..

Paraning Dumadi


Marilah kita sama-sama menelisik ‘kawruh murni'-nya leluhur kita tersebut dengan ketulusan demi bisa terwariskan kepada anak keturunan kita sendiri. Telah kita ketahui bersama, bahwa ‘ngelmu-ngelmu' Jawa sangat jarang yang dipaparkan secara tertulis dengan gamblang.Kebanyakan dengan simbul-simbul yang benar-benar rumit untuk dipahami secara awam. Terlebih-lebih tentang ‘ngelmu- ngelmu' yang sangat penting dan mendasar sebagaimana ‘Kawruh Sangkan Paran'.

Kita tidak tahu mengapa hal itu terjadi, bahkan pemahaman yang terwariskan kepada kita telah memposisikan ‘ngelmu-ngelmu' tersebut sebagai ‘sinengker' yang artinya tidak boleh dibicarakan secara umum.Perlu prasyarat-prasyarat tertentu yang harus ‘dilakoni' oleh orang yang berkehendak mempelajari dan memahami. Maka akibatnya bagi awam terposisikan untuk ‘manut miturut' mengikuti para ‘sesepuh' yang diyakini telah mampu menguasai ‘ngelmu-ngelmu rungsit lungid' tersebut. Sinengkernya ngelmu-ngelmu Jawa tersebut menjadikan kebanyakan orang Jawa awam merasa terjauhkan dari ‘Kawruh Ajaran Hidup' warisan leluhurnya sendiri. Kemudian memilih untuk mengikuti ‘Ajaran Hidup' dari luar yang disebarkan dengan intensif dan gampang. Bahkan untuk menjadi ‘tokoh' ajaran hidup yang dari luar itupun tidak banyak prasyarat yang harus dipenuhi. Oleh karena itu menjadi wajar ketika ‘nuansa' Jawa di saat ini terkesan sudah berubah menjadi "Barat' dan ‘Timur Tengah'.

Keinginan Ki Djoko Wiro dalam mewacanakan ‘Paraning Dumadi' membuktikan bahwa sesungguhnya ada keinginan-keinginan di kalangan masyarakat Jawa terpelajar untuk bisa memahami ‘Kawruh Ajaran Hidup' yang asli miliknya sendiri. Beliau yang telah ‘yuswa' dan mengenyam asam garam kehidupan nampaknya ‘kurang sreg' dengan diskripsi ajaran hidup (agama) yang dari luar. Namun menjadi gamang ketika mencoba mengikuti penekunan spiritual Jawa yang ada (Aliran Kepercayaan). Kiranya banyak kadang lajer Jawa yang seperti Ki Djoko Wiro tersebut.Ketika saya kepingin ‘urun rembuk' untuk mengkaji berbagai ngelmu Jawa, maka kendala yang terjadi ada pada bahasa. Pada kenyataannya memang sangat sulit menyam-paikan paparan kawruh kejawen dengan bahasa Indonesia. Padahal bahasa Jawa untuk ngelmu-ngelmu tersebut sudah banyak yang kurang paham lagi. Serat-serat kapujanggan misalnya, bahasanya sudah jarang dipergunakan awam pada masa sekarang ini. Lagian disusun dalam bentuk tembang-tembang. Maka jarang orang paham isinya meskipun ketika berkesenian nembang macapat begitu fasih melakukan.

Namun demikian, kita hendaknya tidak gampang menyerah. Karena kita, wong Jawa, masih memiliki bahasa Jawa Ngoko yang secara alamiah terlestarikan dan masih banyak awam yang memahami. Kebetulan saja bahwa ‘teks' ngelmu-ngelmu Jawa banyak yang dipaparkan dengan bahasa Jawa Ngoko itu. Menanggapi keinginan Ki Doko Wiro dan mungkin para sejawat lain yang senada, maka saya ingin menyampaikan suatu kajian tentang ‘Kawruh Sangkan Paran' semampu saya kepada para sejawat. Sumangga .......

Meski yang tertera di banyak literatur Jawa masih banyak berbau ‘dongeng', namun bisa menuntun saya memahami ‘dasar falsafah' Jawa tentang: teologi, mitologi dan ‘kosmologi' Kejawen. Landasan atau ‘aras dasar' utama spiritualisme Kejawen adalah ‘Panunggalan', atau ‘Manunggal' yang artinya menerangkan bahwa ‘sistim' dari semua ‘yang ada' merupakan suatu ‘kesatuan yang mutlak kosmis-magis tak terpisahkan'.‘Struktur sistim'-nya seperti kesatuan sel yang terdiri ‘inti' dan ‘plasma', disebut dalam istilah Jawa ‘Gusti' dan ‘Kawula'. Kalimatnya : "Manunggaling Kawula Gusti". Untaian kata wewarah Jawa lainnya:
- ‘kembang lan cangkoke',
- ‘sesotya lan embanan',
- ‘sedulur papat kalima pancer' (dalam konteks rohani manusia),
- Hyang Manik lan Hyang Maya; Manikmaya atau ‘Dzat Sejatining Urip' (rohani semesta) yang dalam istilah Jawa diberi sebutan: ‘Pangeran' atau ‘Gusti'.
Kawruh Kêjawèn mengajarkan bahwa tergelarnya jagad raya adalah diciptakan oleh Sang Hyang Wenang (sebutan lainnya: Sang Hyang Wisesa, Sang Hyang Tunggal), nama sebutan untuk Sesembahan Asli Jawa. Penciptaannya dengan meremas (membanting) antiga (benih, wiji, bebakalan) hingga tercipta tiga hal :
a Langit dan bumi (alam semesta).
b Teja dan cahya, teja merupakan cahaya yang tidak bisa
diindera sedangkan cahya merupakan cahaya yang bisa
diindera.
c Manikmaya, yaitu "Dzat Urip" atau "Sejatining Urip"
(Kesejatian Hidup, Suksma, Roh).
Menurut Kawruh Kêjawèn, maka seluruh semesta seisinya adalah ciptaan Sanghyang Wisesa di alam suwung, artinya mencipta di dalam haribaan-Nya sendiri. Di dalam haribaan-Nya sendiri mengandung maksud bahwa Tuhan murbâ wasésâ (melingkupi, memuat, serta menguasai dan mengatur) seluruh semesta dan seluruh isinya.Di dalam kesemestaan tersebut ada materi (bumi dan langit), ada sinar dan medan kosmis (cahya dan teja), dan ada Dzat Urip (Manik-mâyâ, Sêjatining Urip, Kesejatian Hidup) sebagai derivate (emanasi, pancaran, tajali) Dzat Tuhan.
Pandangan Kêjawèn menyatakan bahwa: Dzat Tuhan "tan kênâ kinâyângâpâ", tidak bisa dihampiri oleh akal, rasa, dan daya spiritual (batin) manusia. Yang mampu dihampiri akal, rasa dan daya spiritual (kebatinan) adalah Derivate Awal Dzat Tuhan yang di banyak penekunan kejawen disebut ‘Suksma Kawekas'. Saya sendiri lebih nyaman menggunakan sebutan Dzat Sejatining Urip, yang kemudian disebut: Pangèran, Gusti, atau Ingsun.

Kawruh Sangkan Paran merupakan ‘ngelmu' Jawa yang mengajarkan asal mula keseluruhan yang ada dan kemana tujuan akhirnya. ‘Ada' dalam artian ‘Maha Kesatuan Tunggal Semesta' adalah langgeng abadi. Maka dengan demikian ‘sangkan paran' lebih ditujukan kepada ‘ada' untuk ‘titah urip' dan lebih khusus lagi ‘manusia'. Titah urip merupakan ‘persenyawaan' dari tiga unsur : bumi lan langit, cahya lan teja, serta ‘dzat urip'. Ketiga unsur tersebut bersifat langgeng pada ‘azali'-nya, maka yang tidak langgeng adalah ‘kahanan pernyawaannya'. Sangkan berarti proses mensenyawa, sementara paran merupakan ‘kahanan' setelah mengurai kembalinya pernyawaan tersebut. Berikut saya kutipkan ‘Wedaran Sang Wiku Djawa Boedi Moerni' (1934) :
Note : Sang Wiku adalah ‘sesepuh' Kejawen yang menjadi ‘guru utama' banyak tokoh-tokoh Jawa di jamannya. Tersirat dalam tulisan para siswanya, bahwa saat itu Sang Wiku sudah sepuh sekali, diatas seratus taun. Sang Wiku menyatakan diri sebagai orang pelosok (pegunungan) yang jauh dari kota. ‘Cedhak watu adoh ratu".
Oleh: sekarjagat
read more..